
Kwamki Lama Berubah Nama Jadi Kwamki Narama
Konon katanya nama menggambarkan atau menunjukan karakteristik. Dengan sering terjadinya konflik yang unik dan menarik, lantas jadi pertimbangan Pemda Mimika dibawah kepemimpinan Bupati Klemen Tinal waktu itu mewacanakan perubahan nama dari Kwamki Lama menjadi Kwamki Narama.
Harapan adanya pembaharuan suasana yang aman, kondusif dan damai ternyata sia-sia. Dan, apakah ikrar damai, Selasa (23/8) lalu jadi akhir ceritera pilu dari situasi unik dan menarik di Kwamki Narama? Atau nama Kabupaten Mimika yang diplesetkan ‘minggu-minggu kacau’ sekaligus diganti?
Laporan: Maurits Sadipun / Timika eXpress
Hiruk pikuk kendaraan dan lalu lalang masyarakat secara beriringan dan berkelompok sempat membuat saya deg-deg an. Jangan-jangan ini massa yang adalah pasukan bantuan.
Ternyata benar, kedatangan ‘massa’ ke Kwamki Lama guna membantu kelompok yang saling bertikai.
Kedatangannya pun disambut yel-yel dan sorak sorai. Dengan mengusung busur panah dan coretan di wajah bentuk penyamaran menyatakan mereka siap ‘berperang’.
Situasi yang hampir setiap tahun terjadi sejak berdirinya Kabupaten Mimika hingga dimekarkannya wilayah Baru Kwamki Lama, rupanya harus dibaharui.
Periode kedua kepemimpinan Klemen Tinal, ia pun menyetujui adanya perubahan nama dari Kwamki Lama jadi Kwamki Narama.
Klemen Tinal yang akrab disapa ‘KT’ itu pun menaikan status Kwamki Narama menjadi distrik dengan harapan menjawab Kamtibmas sebagai faktor utama.
Dari kenaikan status wilayah, infrastruktur pemerintahan pun mulai ditata, begitu juga program pembangunan pro rakyat didukung Pemda kala itu dengan dibentuknya Pospol yang kini jadi Polsubsektor Mimika Baru. Semuanya demi mewujudkan Kwamki Narama baru yang lebih baik ke depannya.
Tahun berganti waktu berjalan, namun, cerita seram tentang Kwamki Narama belum juga berakhir.
Konflik dari berbagai latar belakang persoalan pun tidak kunjung padam.
Bahkan, panglima perang (waemum) dari Kwamki Narama ditengah situasi konflik memilih mencalonkan diri sebagai Caleg 2009 di Mimika.
Alih-alih, siapa tahu dengan menjadi legislator tokoh masyarakat setempat bisa membawah perubahan dati tatanan kehidupan warga masyarakatnya setempat ke arah kemajuan.
Sekaligus bisa menanggalkan tradisi lama ‘perang suku’ yang dampaknya kini sangat merugikan masyarakat.
Tidak hanya harta benda, nyawa jadi taruhan. Lebih parahnya aktivitas warga tidak bisa berjalan.
Entah sudah berapa banyak nyawa berkalang tanah karena pertikaian di Kwamki Narama kini dan Kwamki Lama dulu?
Begitu juga sudah berapa ratus rumah warga dibakar, dirusak dan dijarah, serta masih banyak lainnya.
Menjadi Caleg sebagaimana yang diimpikan Elminus Mom dan Yanes Natkime pun terwujud.
Elminus Mom dari Kwamki Narama sedangkan Yanes Natkime dari Kampung Banti merupakan sosok waemum yang disegani saat konflik antar kelompok 2006-2007 silam yang meluas hingga ke Tembagapura.
Duduk di kursi dewan, sebelum juga ada Philipus Wakerkwa, menyusul Atimus Komangal. Mereka tetaplah tokoh yang masih didengar masyarakatnya. Hanya saja belum mampu meredam konflik karena cukup dilematis menghadapi warga masyarakat dengan berbagai karakter.
Namun, berbagai upaya pendekatan termasuk program pembangunan untuk menjadikan Kwamki Narama lebih maju dan berkembang nampaknya masih menemui tantangan.
Setiap konflik berujung perdamaian, sampai mengurbankan ratusan bahkan ribuan ekor babi sebagai hewan kurban pun ditalangi Pemda Mimika.
“Ini salah siapa, ko Pemda terus ikut bertanggung jawab. Rasanya ini memanjakan masyarakat setempat.
Nilai kultur mulai tergerus kepentingan ekonomi. ‘perang’ kini disinyalir diliputi berbagai kepentingan, baik politik, ekonomi dan sosial budaya.
Pastinya ada provokator,” kata Elminus Mom kepada Timika eXpress mensinyalir adanya itu.
Selain itu, aparat keamanan pun kewalahan menghadapi ratusan bahkan ribuan warga dari antara kelompok yang bertikai di Kwamki Narama.
Dulunya konflik hanya di wilayah setempat, kini sudah meluas. Sampai warga luar yang tidak terlibat pun menjadi korban.
Simprifikasi kasus kriminalitas, secara khusus konflik horisontal di Kwamki Narama terus dipertanyaan warga masyarakat.
“Kenapa sudah ganti nama, tapi kok sama saja, Kwamki Narama belum juga kondusif. Haruskah nama Kota Timika atau Kabupaten Mimika juga diganti? “celoteh seorang warga
karena prihatin dengan aksi penyerangan hingga kasus pembakaran dan pengerusakan warga di Kampung Tunas Matoa, Iliale, 25 Juli lalu.
‘Timika’ yang diplesetkan ‘tiap minggu kacau’ atau Mimika ‘mingu-minggu kacau’ jadi stigma bagi tamu yang berkunjung ke Timika.
Tanah amungsa yang kaya ini sudah bermandikan peluh dan darah.
Jadi, sudah saatnya seluruh warga masyarakat, baik oyame maupun non oyame (non oyame-sebutan untuk perantau pendatang bukan warga asli Mimika) harus menghormati pemilik ulayat setempat.
Sedangkan masyarakat oyame sudah saatnya melebur semua persoalan agar tidak semuanya harus berujung konflik.
Dampaknya, aktivitas umum lumpuh, warga diliputi ketakutan dan sendi-sendi kehidupan, seperti anak-anak sekolah tidak bisa mengenyam pendidikan. Begitu pula dengan akses layanan kesehatan.
Seperti yang penulis kenal, tipikal masyarakat Kwamki Narama yang begitu rendah hati kepada siapa saja, harusnya ini jadi simbol damai yang abadi dengan mengusung semboyan Eme Neme Yauware.
Bahkan, masyarakat di sini (Kwamki Narama-Red) lebih kuat dari aparat. Mereka seakan siap mati menghadapi masalah apa saja. Makanya dalam penyelesaian suatu kasus sedikit dilematis dalam penerapan hukum positif, harus pakai hati, bicara dari hati ke hati, karena menggunakan pendekatan dengan hati, hati masyarakat di sini bisa luluh.
Yang harus diingat!, tugu perdamaian Timika Indah itu juga jadi saksi sejarah dari konflik di Kwamki Lama dulu.
Apakah semuanya itu hanyalah simbol tanpa aksi nyata. Mari kita buktikan dan wujudnyatakan damai dan persaudaraan yang hakiki diantara sesama kita. Tidak hanya bagi warga asli setempat, tetapi juga warga pendatang yang terkadang terprovokasi, hingga akhirnya persoalan pribadi melibatkan suku.
“Ini harus kita tinggalkan,” tegas politis Partai Gerindra itu.
Akhirnya, sejarah Kabupaten Mimika sebagai daerah terkaya dari daerah lain di Papua harus diimbangi dengan sendi-sendi kehidupan yang lain.
“Kalau daerah kita ibarat ‘gula’ tentu jadi daya tarik sehingga kemajemukan heterogenitas cukup tinggi ada di Timika,” katanya.
Untuk itu, gejolak di bidang politik, pemerintahan, bahkan faktor kesenjangan sosial dan lainnya jangan sampai mengganggu Kamtibmas.
Harapan kita semua adalah Mimika yang potensial ini jangan di cap sebagai daerah rawan konflik, karena ada ancaman lain yang harus disikapi dan diwaspadai, yakni sinyalemen daerah yang rawan korupsi dan sarat dengan masalah degradasi moral masyarakatnya. Mari kita kawal agar Mimika lebih baik ke depannya, siapapun pimpinannya?. (bersambung)