“Ini baru 32 hari saja Timika jumlah pasien positif COVID-19 meningkat terus. Ini menambah masyarakat maupun saya secara pribadi tambah kuatir jangan sampai dengan ada penumpang dari daerah merah justru tambah jumlah pasien di Timika”

Yulian Solossa
TIMIKA,TimeX
Masuknya maskapai penerbangan Garuda dari Jakarta, Surabaya dan Denpasar di Bandara Mozes Kilangin pada Selasa (21/4) pagi dengan membawa 106 penumpang di tengah situasi meningkatnya penularan COVID-19 mendapat tanggapan kritis dari sejumlah kalangan masyarakat dan Anggota DPRD Mimika.
Salah satunya, Yulian Salossa, Anggota DPRD Mimika menolak keras kebijakan pemerintah membuka kembali moda transportasi udara Garuda masuk di Timika.
Menurutnya boleh-boleh saja pemerintah mengambil kebijakan dengan alasan ada warga, sanak saudara atau pelajar sejak pemberlakukan lockdown masih berada di Jakarta, Denpasar maupun Surabaya sehingga tidak bisa pulang. Namun demikian, jika pulang harus memenuhi syarat-syarat pemeriksaan sepertinya sebelum pulang wajib meminta surat dari dokter daerah asal menyatakan dalam kondisi sehat dan setiba di Timika wajib hukumnya menjalani isolasi terpusat.
Meskipun demikian, politisi PDIP ini belum yakin semua penumpang yang datang walaupun sudah dinyatakan sehat oleh tim dokter di daerah keberangkatan. Apalagi pesawat ini ada transit di Bandara Ngurah Rai Denpasar Bali, Surabaya sehingga ada kemungkinan kuat tertular saat singgah di bandara maupun dalam pesawat. Sebab dari sekian banyak penumpang tidak ada yang tahu bahwa penumpang itu dengan corona atau tidak.
“Ini baru 32 hari saja Timika jumlah pasien positif COVID-19 meningkat terus. Ini menambah masyarakat maupun saya secara pribadi tambah kuatir jangan sampai dengan ada penumpang dari daerah merah justru tambah jumlah pasien di Timika,” jelas Yulian kepada Timika eXpress, Rabu (22/4) malam.
Menurutnya, jika alasan ada banyak anak Timika yang selama ini menjalani pendidikan di luar lalu minta pulang karena faktor ketiadaan kebutuhan sembako dan lain-lain, pemerintah bisa kirim bantuan dengan berkolaborasi bersama yayasan anak itu sekolah atau pihak asrama di mana anak itu tinggal. Dengan demikian, anak-anak ini tetap di kota studi tanpa perlu pulang, kalau tetap pulang kemungkinan besar ada potensi penyebaran virus karena mereka ini datang dari daerah zona merah.
“Saya tidak setuju dengan memulangkan warga Timika dan tidak bisa penerbangan masuk Timika selama situasi ini belum benar-benar dipastikan kapan virus ini berakhir,” katanya.
Pemerintah ujarnya, musti bisa melihat lebih jernih jumlah kasus positif sudah 36 orang tertinggi di seluruh Papua. Belum lagi Orang Dengan Pemantauan (ODP), Pasien Dengan Pengawasan (PDP) dan Orang Tanpa Gejala (OTG) jumlahnya cukup banyak.
Ia berharap pemerintah sudah keluarkan kebijakan untuk lockdonw untuk penerbangan maupun transportasi kapal laut (penumpang) jangan pemerintah sendiri yang melanggar aturannya.
Sementara penolakan serupa juga disuarakan oleh Arnold Rosumbre, selaku tokoh masyarakat Mimika.
Arnold menilai kebijakan yang diambil bupati memang secara sosial bisa dibenarkan karena merasa kasian dengan rakyatnya, anggota keluarga dan sanak saudara yang selama ini masih ada di Jakarta, Surabaya dan Denpasar. Namun di sisi lain, bupati juga perlu ingat bahwa dengan masuknya warga dari daerah zona merah sudah jelas menambah kekhawatiran masyarakat Mimika setelah melihat dengan tingginya angka penularan virus ini yang baru sebulan sudah 36 orang positif belum lagi begitu banyaknya ODP, PDP dan OTG.
“Kita bukan remehkan keluarga kita yang sekarang lagi ada di luar. Tapi kita musti pikir baik-baik. Masalah Timika ini sudah sangat mengkhawatirkan. Jumlahnya tiap hari bukannya menurun malah tambah naik,” katanya kepada Timika eXpress via ponselnya, Rabu (22/4) malam.

Arnold Ronsumbre
Arnold takutkan dengan masuknya kembali warga ini akan menambah beban kerja Tim Gugus Tugas Percepatan Pengendalian COVID-19 Mimika, tim medis di rumah sakit, klinik dan Puskesmas. Sehingga bukannya menutus mata rantai yang diupayakan mahalah menambah penyebaran virus baru. Mereka-mereka yang datang ini belum tahu apakah benar tidak terpapar, sebab harus menjalani masa isolasi selama 14 hari.
Ia juga tidak setuju dengan kebijakan 106 penumpang ini menjalani isolasi mandiri. Seharusnya mereka jalani isolasi terpusat meskipun dinyatakan sehat oleh tim, agar memudahkan dalam pemantauan selama 14 hari. Jika isolasi mandiri siapa yang bisa menjamin mereka tidak keluar rumah melakukan aktivitas.
“Sekarang tenaga medis lagi berjuang putuskan mata rantai yang tiap hari naik terus. Kita bukan sisihkan pejabat atau sanak saudara kita yang masih di luar sana untuk datang. Tapi minta mereka bersabar lihat jika situasinya sudah menurun baru boleh pulang,” katanya.
Mantan Wakil Direktris Yahamak ini juga menyayangkan rendahnya kesadaran warga Mimika untuk memeriksakan diri di pusat fasilitas kesehatan (Faskes), terutama mereka yang merasa pernah kontak dengan pasien positif. Kadang merasa malu anggap ini aib. Padahal ini wabah menimpa seluruh dunia sehingga bukan aib dan malu untuk jalani pemeriksaan. Jangan tunggu sudah setengah mati baru lapor atau datangi rumah sakit untuk berobat, itu sama saja dengan tidak menyayangi keluarga dan warga yang lain.
“Kita harap warga Timika jujur dan jangan malu lapor diri untuk diperiksa agar cepat putus mata rantai sehingga kita bisa beraktivitas seperti bisa,” ajak Arnold.
Selain itu, Arnold juga mengkritisi aksi penutupan jalan di dalam kota maupun aksi spontan warga memalang lorong-lorong masuk. Menurutnya, menterjemahkan kebijakan lockdonw adalah warga menutup atau mengunci dirinya di rumah bukan dengan memalang jalan-jalan sebagai akses keluar masuk warga. Hanya dengan berdiam diri di rumah, rajin mencuci tangan, gunakan masker bila keluar rumah jika ada keperluan penting dan jauhi kerumuman banyak orang sesuai protap kesehatan, menjadi solusi paling tepat mengatasi pandemi virus mematikan ini, bukan dengan menutup sejumlah ruas jalan. Sama saja tidak efektif tutup jalan sementara masih saja ada warga yang duduk kumpul di sekitar lokasi pemalangan.
Perlu diketahui 106 warga yang tiba di Timika dengan penerbangan maskapai Garuda Indonesia dari Jakarta, Surabaya dan Denpasar, semuanya dinyatakan sehat dan bebas Covid-19.
Hal ini dibuktikan setelah petugas bandara dan tim kesehatan di Timika memeriksa suhu tubuh terhadap 74 penumpang asal Jakarta dan 32 penumpang asal Denpasar setibanya di Bandara Mozes Kilangin Timika, Selasa (21/4) pagi.
Tidak hanya itu, guna mencegah bertambahnya transmisi lokal COVID-19, 106 penumpang ini terdiri dari pelajar, mahasiswa dan sejumlah pejabat juga diminta menunjukan bukti surat keterangan sehat (HAC-Helat Allert Card) pemeriksaan COVID-19 dari daerah asal.
Reynold Ubra, Jubir Tim Gugus Tugas Percepatan Pengendalian COVID-19 mengatakan meski semuanya dinyatakan sehat tetapi 106 penumpang disarankan isolasi mandiri di rumah masing-masing, tidak keluar rumah dan harus gunakan masker selama masa isolasi.
Selama masa isolasi pertama 14 hari ke depan, akan diawasi oleh Tim Gugus Tugas Percepatan Pengendalian Covid-19 Mimika.
Sementara berdasarkan video yang beredar ada sejumlah warga Timika yang mendatangi Kantor Garuda di Jalan Cenderawasih samping Diana, Rabu (22/4) pagi. Sejumlah calon penumpang menanyakan jadwal penerbangan Garuda dan pelayanan pembelian tiket. Dalam video itu kedua petugas Garuda menjelaskan untuk pembelian tiket di bawah tanggal 6 Mei belum bisa dilayani karena rencana penutupan sampai dengan tanggal 6 Mei. Bagi warga yang sudah membeli tiket, kedua petugas itu mengarahkan silahkan konfirmasi dengan petugas di dalam kantor.
“Kami mohon maaf ya bapak ibu untuk layanan pembelian tiket di bawah tanggal 6 Mei. Ini imbauan dari Pemkab. Penjualan tiket baru bisa dibuka setelah tanggal 6 Mei ke atas,” jelas kedua petugas itu.
Namun keduanya, juga menegaskan kebijakan penutupan akses penerbangan ini bukan dari Garuda melainkan dari Pemerintah Provinsi. Dan ada keluhan dari penumpang bahwa Garuda kadang terlambat dan tunda-tunda keberangkatan, itu bukan dari Garuda tapi kebijakan dari Pemerintah Provinsi Papua. (antonius djuma)