Kwamki Lama Riwayatmu Dulu…
Perang……perang lagi, kapan kah berakhir, itulah sepenggal lirik syair lagu ciptaan artis legendaris Iwan Fals yang mungkin menggambarkan situasi heroik di Kwamki Lama waktu itu hingga kini sejak lahirnya Kabupaten Mimika belasan tahun lalu.
Mengapa sampai Kwamki Lama yang begitu unik dan menarik ini terkenal mendunia, tidak hanya di Papua dan Indonesia?

Laporan: Maurits Sadipun / Timika eXpress
Satu warga yang berbuat, satu suku yang bertanggungjawab. Kwamki Lama, daerah itu dulu memang unik dan kini masih tetap unik.
Akankah keunikan dari tradisi kultur adat dan budaya itu membaharui hidup damai seutuhnya.
Dan, ikrar damai dari setiap konflik yang terjadi berujung prosesi damai, termasuk yang baru digelar, Selasa (23/8) lalu diharap jadi akhir dari semua situasi kelam dari konflik yang terjadi selama ini?
Damai, damai dan damai lagi pastinya jadi impinan dan harapan besar rakyat di dunia ini setelah mengenal Kwamki Lama dulu dengan stigma ‘daerah merah’ karena konflik horisontal antar warga setempat yang diketahui masih bertalian darah.
Tak pelak, konflik horisotal yang biasa disebut perang suku, namun oleh sebagian besar warga masyarakat menyebutnya ‘perang saudara’ sebab kelompok atas, tengah dan bawah di Kwamki Lama dulu diketahui memiliki marga dan klen suku yang sama.
Sayang, Kwamki Narama dikenal dunia bukan karena daerah itu masih kental dengan adat budayanya, atau bukan karena busur panah dan noken yang berselipan ketika penggunanya berkebun.
Atau dikenal bukan karena sikap heroik para penghuninya yang belum ada tandingan. Tapi dikenal justru karena aksi ‘baku bunuh’ antar sesama saudara yang begitu melestari di daerah itu.
Sepanjang sejarah dibentuknya daerah administratif baru yang dinamai Kabupaten Mimika beribukotakan Timika, sejak itu pula konflik horisontal dengan berbagai latar belakang kasus terjadi.
Konflik itu terjadi tidak lain karena kasus perselingkuhan, membawa kabur anak gadis diantara warga setempat, bahkan munculnya karena persoalan tapal batas.
Bahkan, Kwamki Lama dulunya disebut daerah merah karena di lokasi itu pun bersarangnya kelompok ‘OPM’ (Organisasi Papua Merdeka) yang berseberangan dengan integritas bangsa.
Dengan konflik ‘perang suku’ yang terus berkecamuk, bahkan memakan waktu lama hingga enam bahkan tujuh bulan pada 2006 silam.
Ini membuat semua pihak prihatin bahkan pertanyaan kapan berakhir dan prosesi damai terus menghantui pikiran.
Bahkan, pemerintah, aparat keamanan, stakeholder terkait termasuk warga masyarakat setempat pun kehilangan strategi, sehingga muara penyelesaian persoalan selalu ada campur tangan Pemerintah Provinsi, bahkan Pemerintah Pusat.
Sebab, ketika terjadi konflik di Kwamki Lama, kelompok-kelompok warga dari berbagai wilayah berdatangan, ibarat bala pasukan bantuan untuk menambah kekuatan dari kedua kelompok yang bertikai.
Mereka adalah warga yang mendiami wilayah Satuan Pemukiman (SP) di Kabupaten Mimika, yaitu warga masyarakat Suku Amungme, Dani, Damal, Nduga, Mee, dan Moni yang kebanyakan mendiami daerah pegunungan dan mash menganut budaya ‘perang suku’.
Sedangkan Suku Kamoro mendiami wilayah dataran rendah hingga wilayah Mimika pantai.
Selain dari Suku Amungme dan Kamoro, lima suku lainnya yang disebut suku kekerabatan, itu datang dari wilayah kabupaten tetangga Mimika.
Suku Dani wilayah asalnya dari kabupaten Jayawijaya (Wamena) bagian barat. Sedangkan Suku Damal berasal dari Mulia, pertengahan antara Kabupaten Jayawijaya dengan Kabupaten Paniai.
Seperti pengalaman wartawan Timika eXpress 2006 silam, konflik pecah di Kwamki Lama
berawal dari kematian seorang bocah bernama Johny Murib, anak Kepala Kampung Utikini Baru (SP-XII) Timika.
Si anak yang juga menderita penyakit epilepsi tenggelam di sungai saat sedang bermain karena penyakitnya kambuh.
Kemudian paman Benny berusaha menolongnya dan melarikannya ke Rumah Sakit. Sayangnya begitu tiba di Rumah Sakit, bocah tersebut sudah tak tertolong lagi.
Sesudah itu, pada Jumat (21/7/2006), beberapa paman korban dari Kwamki Lama ini pergi ke rumah duka sambil membawa busur dan anak panah.
Ketika itu diduga terjadi salah paham dari pihak Kepala Kampung Utikini Baru, yang menduga bocah tersebut tewas karena dibunuh. Akibatnya salah seorang keluarga paman korban bernama Yonis Mom, dipanah Negro Wanimbo. Saat itu, Yonis langsung meninggal dunia.
Dipicu dari kejadian inilah, keluarga Yonis Mom yang berasal dari Suku Damal membalas kematian Yonis dengan memanah Yohanes Kogoya yang berasal dari Suku Dani pada hari Minggu (23/7/2006). Sejak penyerangan dengan panah inilah muncul peperangan antara kampung tengah (Suku Dani) dengan kampung atas dan kampung bawah (Suku Damal).
Ironinya, konflik sata itu yang berlangsung kurang lebih enam bulan dan meluas hingga Kampung Banti dan Kimbeli Tembagapura baru didamaikan setelah datanganya Wakil Gubernur Alex Hesegem yang sata itu berpasangan dengan Gubernur Banrnabas Suebu.
Hanya saja itu bukan akhir. Tahun-tahun berikutnya konflik masih saja terjadi. Ini juga karena dendam dan penyelesaian dari persoalan sebelumnya belum tuntas. (bersambung)