
MELIHAT GUDANG – Rombongan Anggota Komisi B DPRD Mimika saat melihat gudang penyimpanan konsentrat di Porsite, Selasa (2/7).
TIMIKA,TimeX
Anggota Komisi B DPRD Mimika melakukan Kunjungan Kerja (Kunker) ke kawasan pabrik pengeringan konsentrat atau Dewatering Plant (DWP) PT Freeport Indonesia di Portsite, Pelabuhan Amamapare pada Selasa (2/7).
Dari agenda kunjungan untuk mencermati atau melihat langsung berfungsi tidaknya timbangan digital yang kini ditangani Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Mimika juga ditemukan kendala lain. Yakni, pabrik pengeringan konsentrat oleh karyawan yang mendampingi Kunker anggota DPRD Mimika, dinyatakan belum beraktivitas normal pascabocornya pipa konsentrat di mile 43 beberapa waktu lalu.
Anggota DPRD Komisi B yang turun Kunker, yaitu Johanis Felix Helyanan, Nurman S Karupukaro, Den B Hagabal, Victor Kabey, Yoel Yolemal, Antonius Kemong dan Oktovianus Beanal.
Nurman Karupukaro mengaku baru mengetahui pasti jumlah ekspor konsentrat oleh pihak Freeport melalui Disperindag.
“Kita bersyukur dengan alat ukur, maka kita bisa tahu berapa banyak konsentrat yang diekspor keluar Mimika,” katanya.
Selain itu, dalam pengawasn keuangan, DPRD juga melihat sudah ada keterbukaan informasi. Jika sebelumnya banyak pihak mengatakan PTFI tidak transparan bahkan terkesan menutup-nutupi informasi tentang jumlah tonase konsentrat yang diekspor hingga keluar negeri.
Menurut Nurman, pascaperalihan rezim dan kesepakatan divestasi saham Freeport, Pemkab Mimika mengetahui jumlah konsentrat yang dijual atau dikirim keluar, korelasinya pendapatan negara bukan pajak bisa diketahui dari jumlah konsentrat yang dikirim ke negara-negara tujuan ekspor.
Terkait hal ini, politisi Gerindra menambahkan dalam waktu dekat pihaknya akan berkoordinasi dengan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) untuk menanyakan kontribusi dari Freeport terkait kompensasi pembayaran konsentrat.
“Tahun kemarin royalti yang dimasukkan empat triliun. Dengan menggunakan sistem timbangan digital untuk memastikan jumlah konsentrat yang diekspor, kita bisa pastikan jumlah royalti untuk tahun depan atau sebelumnya,” kata Nurman.
Bahkan, pihaknya mewacanakan rapat dengar pendapat bersama dinas terkait dan pihak Bea Cukai untuk membicarakan hal-hal lain yang dianggap masih kurang.
Misalnya, konsentrat yang keluar ke pabrik pemurnian (Smelter) di Gresik yang belum dilaporkan ke Disperindag Mimika. Karena yang baru dilaporkan adalah yang dikirim keluar negeri.
Termasuk melakukan koordinasi dengan Kementerian Keuangan untuk dimasukkan pula laporan yang sama tentang ekspor domestik, karena dari pabrk Smelter di Gresik juga ekspor ke luar negeri.
“Di sini nanti kita minta PTFI yang ekspor ke Gresik juga disertakan laporan tentang jumlah konsentrat yang keluar bersama-sama dengan timbangan. Karena timbangan ini tidak membeda-bedakan mana yang ekspor dan mana yang impor agar semuanya jelas,” serunya.
Ia menambahkan, berdasar data Disperindag, hasil yang dicapai tahun lalu sekitar empat triliun khusus untuk ekspor berdasarkan Surat Keterangan Asal (SKA) yang telah ditandatangani. Namun pencapaian tersebut belum termasuk yang menggunakan SKA.
Dari Rp4 triliun tersebut, Pemerintah Provinsi Papua mendapatkan 30 persen.
“Kita berharap dengan memanfaatkan timbangan digital dari keterwakilan pemerintah daerah terkait ekspor-impor pertambangan, maka DPRD bisa mengawasi sesuai tupoksinya,” tandas Nurman.
Sementara Libert Yan Manggara, Kabid Perdagangan Disperindag mengemukakan, timbangan yang ditempatkan di area Portsite ini sudah disegel dan telah dilakukan pengujian serta diberikan cap stempel tera.
Apabila ada gangguan, maka pihaknya akan menyurat kepada pihak Government Relation (Govrel) PTFI untuk kemudian ditera ulang.
Pasalnya, Disperindag baru mendapat kewenangan dari Kementerian Perdagangan untuk menandatangani SKA ekspor itu pada 2018 lalu.
“SKA ini tidak wajib bagi setiap negara yang kita ekspor barang ke sana. Jadi pembeli yang wajib SKA ini hanya India. Yang mana mekanisme perhitungan banyaknya konsentrat itu di Bea Cukai,” jelasnya.
Setiap pengapalan lanjut Libert, pihak PTFI menyurat ke Bea Cukai terkait rencana pengapalan. Setelah itu akan dicek angka timbangan sesuai ketentuan jumlah konsetrat yang akan diekspor, dimana ada bagian teknis untuk menghitung jumlahnya dibantu oleh pihak Sukofindo.
“Jadi proses naik ke timbangan, pihak Sukofindo ambil sampel satu kilogram konsentrat untuk diuji kandungan emasnya berapa persen, tembaganya berapa persen, karatnya berapa persen. Sedangkan standarnya di atas 15 persen kandungan emasnya diijinkan untuk bisa diekspor. Kemudian teknis menyangkut perhitungan sekian ton, kali berapa rupiah sampai dapat angka sekian miliar, ini teknisnya ada di Bea Cukai,” paparnya.
Lebih jauh dijelaskan, pada saat PTFI mengajukan permohonan pengapalan pada saat itu Disperindag tidak menandatangani SKA-nya, itu sudah ada invoice. Invoice ini sudah ada cap pemberitahuan ekpor barang. “Jadi di dalam itu sudah diuraikan sekian ton dan kemudian ekspornya dijual ke India. Bila negara ada SKA-nya maka ketika konsentrat masuk tidak akan dipungut biaya. Dan bila ada biaya sekalipun, maka itu nilainya kecil. Sedangkan negara yang tidak memiliki SKA itu maka PTFI bayar,” paparnya.
Ia mengatakan setelah konsentrat sampai pada negara tujuan Sukofindo akan mengambil lagi satu kilogram yang kemudian diuji lagi kandungannya apakah sama dengan pada saat naik di pelabuhan tujuan atau tidak. Jika ada perubahan kandungan mineral maka di negara tujuan yang dipakai untuk membayar penerimaan bukan pajak untuk masuk ke negara.
Ia mengungkapkan tahun 2018 penerimaan negara bukan pajak melalui konsentrat mulai Januari sampai Desember mencapai Rp 4,194 triliun. Sementara untuk pengiriman ke Gresik pihaknya tidak tahu nilainya.
Namun hal ini teknisnya akan diketahui oleh Bea Cukai yang tahu dalam penerimaan negara. Hanya yang ekspor melalui pemberitahuan ekspor barang itu nilainya tercantum di dalam.
Sedangkan, Ahmad Saa Bagian Proses Pengeringan Konsentrat menjelaskan ada dua tugas yang dikerjakan yakni pertama mengeringkan konsentrat yang dikirim dari 754 berupa bubuk yang kandungannya 35 persen. Selanjutnya, pihaknya akan menurunkan menjadi sembilan persen untuk standar daripada kandungan air yang dikapalkan nanti. Tugas kedua adalah mengapalkan atau menjual.
Ia menjelaskan proses pengeringan ada dua yaitu menggunakan panas dan presure atau diperas.
“Jadi proses pemanasan itu kami gunakan kedua bahan bakar yaitu menggunakan piu dan oli bekas untuk memanaskan. Pemanasan ini dilakukan dua yaitu vakum yaitu dihisap airnya 14 persen dan kemudian dikurangkan sembilan persen. Kemudian sembilan persen ini kami simpan di ketiga gudang penyimpanan. Kebetulan gudang kita lagi kosong dikarenakan pengiriman konsentrat dari atas terkendala, sehingga apa yang kita terima segitulah dan kebetulan hari ini sama sekali tidak ada,” jelasnya.
Ia mengatakan kekosongan konsentrat maka pihaknya melakukan perbaikan di tiga gudang masing-masing kapasitas 45 ton.
“Jadi ketika masukan konsentrat yang berisi 35 persen itu, kemudian kita peras hingga mencapai sembilan persen. Setelah itu disimpan di gudang setelah ada kapal maka kita kapalkan. Tetapi saat ini tidak kapal karena cuaca yang kurang bersahabat,” pungkas. (aro)