Kebijaksanaan Hidup
SEORANG anak belajar dari pengalamannya sendiri. Sering dikatakan, bahwa pengalaman adalah guru yang paling efektif, kalau menyangkut ketrampilan-ketrampilan yang kita butuhkan untuk kehidupan sehari-hari. Di samping itu ada nasehat orang tua yang muncul setiap kali anak berbuat sesuatu yang amat baik atau sesuatu yang amat jelak. Nasehat yang diberikan sering tersambung dengan perbuatan anak, dan karena itu amat bertahan dalam ingatannya. Di samping itu juga ada pengalaman-pengalaman yang dialami oleh siapapun. Pengalaman itu langsung dikenal kembali, kalau disebut dengan memakai kiasan. Kita menyebutnya ‘peri bahasa’. Kiasan itu tidak perlu dijelaskan, karena langsung dimengerti oleh siapapun atas dasar pengalamannya sendiri. Peri bahasa itu merupakan kekayaan rohani milik sebuah bangsa. Ungkapan-ungkapan semacam itu kadang-kadang dikumpulkan menjadi ‘buku kebijaksanaan’.
Umat Allah juga menganal kumpulan kebijaksanaan hidup semacam itu. Di dalam Kitab Suci Deuterokanonika ada buku kumpulan kebijaksanaan hidup yang dikenal dengan judul “Kebijaksanaan Yesus bin Sirakh”, nama yang dalam kutipan-kutipan sering disingkatkan dengan ‘Sirakh’. Contoh-contoh dari kehidupan sehari-hari diberi nilai pengajaran, yang langsung ditangkap oleh mereka yang mengenal kebiasaan-kebiasaan itu dari hidup sehari-hari dan peka untuk bahasa dan nilai-nilai simbolis. Misalnya “Kalau ayakan digoyang-goyangkan, maka sampahlah yang tinggal; demikianpun keburukan manusia tinggal dalam bicaranya” (Sir. 27, 4). Seperti sampah tinggal di ayakan kalau digoyangkan, demikian pun keburukan yang ada di dalam diri manusia menjadi nyata pada saat ia mulai berbicara. Atau: “Nilai ladang ditampakkan oleh buah pohon yang tumbuh di sana; demikian pula bicara orang menyatakan isi hatinya” (Sir. 27, 6). Ayat itu diikuti oleh nesahat sebagai kesimpulan: “Jangan menguji seseorang sebelum ia berbicara, sebab justru itulah batu ujian manusia” (Sir. 27, 7).
Kebijaksanaan hidup berlaku untuk siapapun, tetapi mendapat bobot khusus bagi mereka yang telah diangkat menjadi pemimpin. Seorang pemimpin tidak bisa memakai peri bahsa kebijaksanaan untuk mempersalahkan sesamanya, kalau ia lupa bahwa ia sendiri juga manusia biasa sama seperti orang yang mau dipersalahkannya.
Yesus menyadarkan para muridNya akan hal itu. Ia mengatakan: “Dapatkah orang buta menuntun orang buta? Bukankah keduanya akan jatuh ke dalam lubang?” (Lk. 6, 39). Atau dengan kata yang lebih keras lagi: “Mengapakah engkau melihat selumbar di dalam mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu sendiri tidak engkau ketahui?” (Lk. 6, 41).
Tugas seseorang yang diangkat menjadi pemimpin, harus mulai dengan melihat dirinya sendiri, sebelum ia menilai orang lain. “Bagaimana engkau dapat berkata kepada saudaramu: ‘Saudara, biarlah aku mengeluarkan selumbar yang ada di dalam matamu’, padahal balok yang di dalam matamu tidak engkau lihat? Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu” (Lk. 6,42).
Seorang pemimpin yang baik akan mulai dengan memeriksa isi hatinya, karena “tidak ada pohon yang baik, yang menghasilkan buah yang tidak baik; dan tidak ada pohon yang tidak baik yang menghasilkan buah yang baik” (Lk. 6, 43). Apakah kepemimpinan berhasil atau tidak ditentukan oleh penampilan dan perbuatan orang. Di samping itu pemimpin akan menjaga apa yang dikatakannya, karena “Yang diucapkan mulutnya, meluap dari hatinya” (Lk. 6, 45). Tugas pertama untuk kita semua adalah untuk menjaga isi hati kita.
(Pastor Bert Hagendoorn OFM)