TIMIKA,TimeX
Rencana pemerintah untuk mengembangkan wisata di Timika, khususnya pendakian ke Puncak Cartenz mendapat penolakan oleh masyarakat adat keluarga besar Beanal yang mendiami Dusun Beana Kampung Tsinga Distrik Tembagapura.
Penolakan ini disampaikan sekelompok warga yang terdiri darit tokoh masyarakat dan tokoh intelektual di Kantor Lembaga Masyarakat Adat Suku Amungme, Selasa (19/3).
Alasan penolakan oleh warga ini lantaran selama ini masyarakat masih trauma dengan perubahan lingkungan atau alam mereka akibat hadirnya tambang emas raksasa Freeport yang menyebabkan sungai dan tanah masyarakat tercemar oleh limbah.
Sebut saja seperti Sungai Beanogong yang dahulu airnya biasanya dikonsumsi langsung oleh masyarakat kini sudah tidak bisa karena telah tercemar.
“Bibir sungai yang dulunya jadi tempat bercocok tanam kini sudah tidak bisa ditumbuhi tanaman,” ungkap Barnabas Beanal tokoh masyarakat kepada Timika eXpress saat itu.
Oleh sebab itu pihaknya menegaskan menolak rencana pengembangan pendakian tersebut dikhawatir akan semakin merusak kearifan lokal setempat.
“Kegiatan tambang oleh Freeport saat ini sudah menggerogoti tanah kami, tanah dimana kami berdiri tinggal kulitnya, kalau isi tanah kami sudah habis, lalu sekarang masih incar kulitnya lagi, jadi kami mau ke mana?” keluhnya.
Ia bersama sejumlah tokoh masyarakat lainnya yang hadir dalam kesempatan tersebut sepakat sekaligus menjadi catatan bagi pemerintah, baik pusat maupun daerah termasuk pengusaha yang mencoba memfasilitasi pendakian tersebut, agar tidak memaksakan aktivitas pendakian tanpa izin dari warga.
Terutama Lemasa selaku lembaga adat yang melindungi 11 suku di Mimika.
Johanis Beanal tokoh masyarakt lainnya dalam kesempatan tersebut juga menegaskan kalaupun suatu hari ada izin untuk mendaki ke Cartenz maka izin tersebut keluarnya dari Lemasa.
Johanis Beanal, Tokoh masyarakt lainnya dalam kesempatan tersebut juga mengatakan, kalaupun suatu hari ada izin untuk mendaki ke Cartenz, maka izin tersebut keluarnya dari Lemasa. Apalagi lanjutnya, saat melakukan pertemuan dengan sejumlah pihak, setidaknya ada 40 instansi yang diundang termasuk Pemda Mimika dan sejumlah kabupaten di sekitar Mimika, kecuali Lemasa dan Tokoh Masyarakat.
Ia juga menyesalkan dalam pertemuan yang digagas oleh Kementerian Pariwisata melalui Asisten Deputi Bidang Pengembangan Wisata Alam dan Buatan di Horison pada Selasa (19/3) dihadiri 40 instansi termasuk Pemkab Mimika beserta sejumlah utusan kabupaten tetangga Mimika tanpa melibatkan Lemasa dan tokoh masyarakatnya.
Padahal keluarga besar Beanal yang merupakan pemilik hak ulayat di wilayah itu.
“Lihat saja undangan ini ada 40 lebih undangan tetapi kami tidak melihat undangan untuk tuan rumah yang ada di Beanal. Kami cuma mau bilang bahwa tanah tersebut ada orangnya, jadi tolong hargai,” katanya.
Menurutnya trauma akibat kerusakan lingkungan sampai saat ini belum juga ada penyelesaian meskipun beberapa kali masyarakat adat telah melayangkan surat kepada sejumlah pihak.
Terakhir saat tahun 2008, masyarakat adat menyurat pada Moffet terkait dengan kerusakan lingkungan namun belum ada penyelesaian hingga saat ini.
Sehingga kalaupun Kementerian Pariwisata harus masuk ke Cartenz maka terlebih dahulu harus menyelesaikan persoalan lingkungan.
“Kalau tidak maka jangan coba-coba. Ini sekaligus jadi peringatan bahwa kami tidak rela daerah kediaman kami yang damai terkontaminasi lagi dengan pengaruh luar yang bertentangan dengan kearifan lokal masyarakat,” tutur salah seorang tokoh intelektual Yosias Beanal.
Keluarga besar Beanal ujarnya tidak ingin ada oknum yang mencari keuntungan tetapi mengorbankan masyarakat.
“Tidak bisa satu orang mengatasnamakan orang Papua, tetapi rimbanya dari mana kami tidak tahu. Karena ada seseorang di luar sana yang selama ini memanfaatkan kami,” katanya.
Sementara Deri Beanal dalam kesempatan tersebut menambahkan saat ini Kementerian Pariwisata dan pengusaha bersama beberapa pihak melakukan pertemuan untuk membahas soal pengembangan wisata ini.
Ia mempersilahkan pertemuan tersebut namun apapun yang menjadi hasil dari Rapat Koordinasi (Rakor) tersebut pada akhirnya harus ada izin dari Lemasa.
“Silahkan saja tetapi kami memastikan bahwa akses menuju gunung tersebut hanya akan ada, jika itu berasal dari Lemasa dan masyarakat adat,” tegasnya.
Ia menceritakan sebelumnya beberapa kali masyarakat menggagalkan pendakian ke Gunung Cartenz dikarenakan rombongan tidak mendapat izin dari Lemasa.
Penolakan serupa juga dari Markus Beanal dan Anthonius Beanal.
Pasalnya, sesuai dengan falsafah turun temurun termasuk yang menjadi pesan penting dari pendiri Lemasa dalam hal ini Tom Benala bahwa ‘tanah hitam adalah adat dan tanah adat dalah keramat’.
Ini akan dipegang kuat oleh masyarakat dan tidak bisa dirubah oleh siapapun.
Setelah pernyataan penolakan ini ia berharap menjadi perhatian semua pihak baik pemerintah, instansi terkait atau perusahaan apapun agar tidak memaksakan diri. Sebab selama ini masyarakat sudah menolak secara lisan.
Sehingga masyarakat tidak ingin disalahkan jika terjadi hal yang mungkin saja tidak inginkan.
“Nanti kalau kami ribut dikait-kaitkan dengan separatis dan lainnya. Ini murni kami semata-mata menjaga apa yang masih tersisa di kami untuk generasi kami,” pungkasnya. (ozy)