
Melihat Manfaat Limbah Tailing di Area Mile 21 Freeport
PT Freeport Indonesia (PTFI) adalah salah satu perusahaan raksasa kelas dunia yang melakukan eksploitasi tembaga, emas, dan perak di Kabupaten Mimika Provinsi Papua.
Dalam melakukan proses pemisahan mineral berharga dan mineral yang kurang ekonomis yang disebut tailing melalui proses pengapungan (flotasi), ternyata telah dibuktikan melalui uji laboratorik secara jelas dan nyata,bahwa tailing atau pasir sisa tambang (Sirsat) tidak berbahaya dan tidak mengancam ekosistem disekitarnya.
Diatas area endapan pasir sisa tambang (sirsat) atau biasa dikenal dengan istilah tailing, seluas 23 ribu hektare ini dapat tumbuh146 jenis tanaman, yakni di Pusat Reklamasi dan Keanekaragaman Hayati yang dikelola Departemen Environmental PTFI , di MP 21, dan hasil dari tanaman ini telah lolos uji dari pengecekan laboratorium dan Balai Pengawasan Obat dan Makanan.
Dengan melihat keanekaragaman hayati di lokasi tersebut, awak media pun di buat kagum setelah mendengar penjelasan langsung dari General Superintendent Reclamation and Biodiversity Enviromental Departement PTFI, Robert Sarwom dan Superintendent Biodiversity Tumpal Sinaga.
Setelah mengamati ratusan jenis tamanan, terdiri dari tanaman pertanian seperti sayuran, padi dan palawija juga tanaman perkebunan seperti kopi, coklat serta aneka buah buahan, seketika itu juga awak media menerima penjelasan terkait pengelolaan lokasi reklamasi dari endapan tailing tersebut.
“Jadi yang kita lakukan disini mulai dari proses penanaman di area bekas tailing, pengolahan minyak goreng bekas menjadi bio diesel serta diorama ekosistem, yakni semacam miniatur ekosistem lingkungan di area PTFI mulai dataran rendah hingga dataran tinggi, yang terdapat jenis-jenis flora dan dan fauna di area Freeport.
Dilokasi ini sudah mengambarkan keseluruhan flora dan fauna di area jobsite kita,” jelas Superintendent Biodiversity Tumpal Sinaga.
Dari adanya pusat reklamasi keanekaragaman hayati dan diorama miniatur flora dan fauna di Mile 21 yang adalah kawasan reklamasi ini menjadi bukti nyata bahwa limbah tailing itu tidak berbahaya untuk kehidupan manusia.
“semua yang hidup dan tumbuh di area reklamasi tailing di Mile 21 ini masihawah ambang batas yang disyaratkan oleh pemerintah melalui Balai POM dan melalui hasil uji laboratorium milik Environmental PTFI. Artinya serapan logam dari tailing ke tumbuhan atau biota ikan dan jenis flora maupun fauna di lokasi tersebut masih aman dikonsumsi,” aku Tumpal kepada wartawan saat kunjungan, Kamis (18/8) lalu.
“Faktanya dari masyarakat mereka belum pernah mengalami sakit yang diakibatkan karena bersentuhan langsung dengan tanaman-tanaman ini,” paparnya.
“Jadi semua tanaman disini sebelum dipanen kita kirim ke laboratorium, diuji serapan logamnya, lalu kita analisis bagaimana perkembangan tailing tersebut menjadi tanah dan bagaimana serapan logamnya. Itu yang kita lakukan selama ini,” terangnya. Namun kata Tumpal, hasil tanaman ini tidak ada yang diperjualbelikan, semua hanya untuk penelitian.
Ditambahkan, sejak tahun 1995 pihaknya telah berusaha untuk mamanfaatkan limbah tailing untuk kehidupan masyarakat di masa yang akan datang melalui kajian di bidang pertanian, perikanan, peternakan dan perkebunan, bahkan infrastruktur.
Salah satu bukti pemberdayaan limbah tailing PTFI untuk pembangunan adalah adanya bangunan Kantor Bupati di Gedung Sentra Pemerintahan di Kelurahan Karang Senang, kawasan Bandara Mozes Kilangin, serta pengerjaan jalan dan jembatan di kawasan Mapurujaya hingga Pomako. Termasuk ada juga jalan-jalan pemukiman di area Kota Timika dan sekitarnya yang dibangun melalui tailing.
Sementara, untuk kegiatan dibidang perikanan dijelaskan Tumpal, kini ada 7 kolam ikan yang diisi ratusan ribu jenis ikan nila dan ikan mas.Sedangkan untuk peternakan, dilokasi tersebut terdapat 24 ekor sapi. “Selain kita manfaatkan kotoran sapi untuk pembuatan kompos, kita juga mengambil sampel darah. Kita cek bagaimana sapi itu terpengaruh atau tidak, karena makanannya adalah rumput gajah yang kita tanam diatas tailing.
Untuk diketahui pula, di pusat reklamasi dan keanekaragaman hayati ini, PTFI menggandeng 40 kontraktor binaan yang tergabung dalam masyarakat 7 suku pemilik hak ulayat areal PTFI. Sedikitnya ada 450 karyawan termasuk orang asli Papua bekerja disana.(yosepina dai dore)