
TIMIKA, TimeX
Sejumlah anggota DPRD Mimika kembali mendatangi Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Kabupaten Mimika guna mengadukan sekaligus mempertanyakan anggaran hak protokoler 2016 yang belum dibayarkan hingga saat ini.
Ketua Komisi B DPRD Mimika, Christian Viktor Kabey didampingi lima anggotanya, yaitu Markus Timang, Eliaser Ohee, Theo Deikme, Den B. Hagabal, Matius Yanengga dan Yohanis Wantik setibanya di Kantor BPKAD, Kamis siang kemarin, disambut oleh Kepala Bidang Anggaran, Marthen Melisa.
Dalam pertemuan persuasif di ruang kerjanya Marthen Malisa, Viktor Kabey mengungkapkan, bahwa pembayaran yang dilakukan Pemda Mimika baru meliputi gaji bulanan, tunjangan jabatan dan tunjangan keluarga.
Sementara hak protokoler, diantaranya dana representatif, dana reses, dana fraksi, biaya pengadaan pakaian hingga angaran makan dan minum dewan belum dibayarkan.
“Kami datang ini mau klarifikasi kejelasannya, karena ada yang bilang semua hak kami sudah dibayarkan, namun itu tidak sesuai kenyataan. Sesuai aturan, pembayaran hak keuangan dan protokoler adalah dua hal berbeda yang melekat. Jadi kami ingin tanyakan kenapa hak protokoler kami belum dibayarkan hingga saat ini?,” tanya politisi Partai Bulang Bintang itu.
Dirincikan pula, hak protokoler yang belum dibayarkan, diantaranya dana representatif yang serupa dengan dana perjalanan dinas para eksekutif, besarannya Rp2,5 juta untuk sekali perjalanan keluar daerah.
Selain itu, masa reses dalam agenda kerja DPRD setahun tiga kali, namun baru sekali reses yang dibayarkan, sisanya belum dibayarkan.
Begitu juga dengan dana fraksi, dan pengadaan pakaian dinas dan olahraga.
Sedangkan dana konsumsi, yakni uang makan dan minum dewan pun, katanya sejauh ini belum jelas.
“Apakah ini melekat di sekretariat atau terpisah. Karena sampai saat ini kami belum terima. Masalahnya kenapa bupati tidak memerintahkan Sekwan untuk bayar. Setahu kami tidak dibayarkan karena disangkutpautkan dengan putusan PTUN Jayapura. Hal ini harus disikapi baik,” tegas Viktor.
Menurutnya, karena anggaran tahn 2016 sudah tutup buku, otomatis dana yang tidak dibayarkan dikembalikan ke kas negara dan menjadi sisa lebih perhitungan akhir (Silpa).
“Kalau masuk Silpa, dana tersebut bisa dikeluarkan tahun di tahun 2017 untuk anggaran reses dewan. Kalau tidak dibayarkan maka harus dianggarkan kembali sebanyak lima kali sesuai agenda reses tahun ini, dihitung dengan dana reses yang belum dibayarkan tahun sebelumnya,” jelasnya.
Sementar itu, anggota dewan lainnya, Markus Timang, menambahkan, dari penjelasan Marthen Malisa bahwa dana tersebut sudah dikembalikan ke kas daerah dan jadi dana Silpa, maka harus diupayakan pembayaranya tahun ini.
“Jangan sampai dananya dialihkan untuk yang lain. Dana ini melekat dan menjadi hak kami yang harus dibayarkan. Pemda tidak boleh alihkan,” tegasnya.
Sedangkan Theo Deikme menegaskan, pihaknya langsung menanyakan ke BPKAD sebab staf dan pegawai di bagian keuangan termasuk bendahara di Sekretariat Dewan hingga kini belum berkantor.
“Pokoknya hak protokoler kami harus dibayarkan. Saya heran, kenapa Kabag Keuangan dan bendahara kerjakan laporan di hotel. Terus kantor besar ini untuk apa?. Pemda harus tindaklanjuti surat tembusan dari kementerian, sebab tugas dan tanggungjawab sudah kami lakukan, tentu hak kami jangan diabaikan,” ungkapnya.
Theo pun mengimbau kepada pimpinan BPKAD untuk memberikan telaan kepada bupati. “Ini terjadi karena tidak adanya koordinasi diinternal pimpinan eksekutif. Ini harus dibahas bersama-sama supaya pembayarannya diakomodir,” tandasnya.
Selanjutnya, Matius Yanengga menegaskan, terlepas dari persoalan politik, hak melekat dewan harus dibayarkan.
“Selama ini kami terus bersabar dan kami minta pimpinan BPKAD harus transparan menjelaskannya. Dapur kami tidak berasap, kami masih sabar, makanya kami kesini pertanyakan secara persuasif,” tukasnya.
Menjawab pertanyaan dewan, Kabid Anggaran BPKAD Mimika, Marthen Melisa menegaskan hal tersebut akan disampaikan kepada pimpinannya.
“Dari penyampaian bapak-bapak dewan akan saya tindaklanjuti ke pimpinan kami. Saat ini beliau sedang keluar daerah (Jakarta-red) dan minggu depan baru kembali, jadi nanti saya teruskan,” janjinya.
Terkait pembayaran hak protrokoler, menurut Marthen, hal itu merupakan rumusan tim anggaran sehingga kebijakan terkait keuangan menjadi kebijakan pimpinan daerah.
“Kebijakan ini ada di pimpinan. Jika belum terakomodir maka dewan bisa membahasnya bersama tim anggaran, sehingga diakomodir di tahun ini.
tentang dana silpa, selama masih ada pekerjaan, maka belum bisa dikatakan silpa, apalagi belum diaudit BPK. Karena tidak dibayarkan maka sudah pasti dana protokoler masuk dalam silpa,” jelasnya. (gad)