
Kebesaran Cinta Tuhan
DALAM perjalanan orang Yahudi lewat padang gurun menuju tanah terjanji terjadi sesuatu yang amat menyakiti hati Musa. Pada waktu Musa turun dari Gunung Sinai dengan membawa loh-loh batu dengan tulisan sepuluh arahan yang membantu orang Yahudi untuk memelihara hubungan cinta mereka dengan Tuhan Allah, Musa melihat dan menyaksikan bagaimana bangsa yang dipimpinnya telah menghojat Tuhan Allah. Mereka telah mengumpulkan segala emas yang ada dan menuangkan seekor patung anak sapi dari padanya. Dengan membentuk lingkaran besar mereka menari-nari di kelilingnya sambil menyanyi: “Inilah Allah yang membebaskan kita dari negeri perbudakan”. Musa terkejut dan marah. Ia melemparkan loh-loh batu dengan tulisan itu ke tanah, sehingga batu itu terpecah-belah.
Apa yang terjadi? Musa dengan kekuatan Tuhan Allah sendiri telah membebaskan orang Yahudi dari cengkeraman bangsa Mesir dan mengantar mereka menuju tanah yang baru, dimana mereka akan hidup sebagai bangsa bebas. Tuhan mencintai mereka. “Saya telah memperhatikan engkau dan segala tangisanmu”, kataNya. “Saya akan mencintai engkau untuk selama-lamanya, bilamana engkau mentaati perintahKu”. Dan sesudah itu Musa naik ke atas, ke puncak Gunung Sinai, untuk mendengar perintah mana yang dimaksud Tuhan dan ia mengukir perintah-perintah itu di loh-loh batu, mengabadikannya, sebagai bukti yang tidak akan musnah. Setiap cinta yang sungguh, yang diungkapkan dengan kata-kata, menegaskan bahwa tidak ada akhir dalam cinta itu: “Aku mencintai engkau untuk selama-lamanya”.
Ciri khas setiap cinta yang sungguh dan asli adalah kesetiaan. Untuk perselingkuhan tidak ada tempat. Musa melihat bahwa bangsanya telah meninggalkan Dia, yang karena cintaNya telah membebaskan mereka. Mereka menyembah kepada sesuatu yang mereka ciptakan sendiri.
Siapa yang menyembah hasil ciptaan tangannya, berlutut di depannya dan menyembahnya? Siapa yang berlutut di depan lukisan yang ia buat atau menyembah masakan, hasil usaha tangannya? Tuhan Allah mau menghajar umatNya, dan kita dapat mengertinya. Hanya karena desakan Musa dalam doanya, Tuhan tidak melaksanakannya (Kel. 32).
Seorang anak laki-laki yang menyatakan bahwa ayahnya sudah mati baginya, sedangkan bapanya masih hidup, kemudian menuntut hak warisannya, dan berangkat ke negeri yang jauh untuk memboroskan kekayaan bapanya, tidak layak diterima kembali oleh ayahnya sebagai anggota keluarga. Di dalam perumpamaan yang disampaikan oleh Yesus (Lk. 15, 1-32) anak semacam itu, -didesak oleh kelaparan dan penderitaan-, kembali kepada bapanya. Ia tidak layak untuk diterima oleh bapanya. Tetapi apa yang terjadi? Bapanya sangat mencintai anak bungsunya itu. Kelakuan anak itu tidak merubah cinta bapanya. Hari demi hari bapanya naik ke puncak bukit dekat rumahnya untuk melihat apakah anaknya sudah kembali. Dan pada suatu hari mujidzat itu terjadi. Bapanya melihat di kejauhan seseorang yang mirip dengan anaknya. Ia lari ke bawah untuk menjumpainya, ia memeluknya sambil menangis, dan mengadakan pesta besar untuk merayakan bahwa anaknya yang hilang dan mati telah kembali. Apakah anak itu layak mendapat segala perhatian itu? Tentu tidak! Ia layak dihukum dan dihajar. Tetapi cinta bapanya lebih besar dari pada segala pertimbangan lain. Cinta Tuhan lebih besar dari pada segala kekacauan kita. (Pastor Bert Hagendoorn OFM)