
TIMIKA, TimeX
Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Perumahan Rakyat (Disnakertrnas-PR), Rony S. Maryen menyatakan, bahwa pihaknya bersama pihak terkait lainnya dilematis dalam menuntaskan kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawan Freeport dan subkontraktornya.
Sebab, terhitung sudah 24 kali pertemuan digelar belum juga membuahkan hasil, lantaran masing-masing pihak, baik manajemen PT Freeport Indonesia (PTFI) maupun Serikat Pekerja punya asumsi dan argumentasi.
“Jadi saya pikir ini dilematis bagi kita semua. Solusi tepat adalah penyelesaian melalui jalur Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Ini juga menjawab surat dari Serikat Pekerja kepada kami,” ujarnya kepada anggota Komisi B DPRD Mimika saat menyambangi Disnakertrnas-PR, Senin (2/10).
Kunjungan Komisi C DPRD Mimika dinas tersebut, Senin kemarin tujuannya kembali membahas untuk mencari solusi penyelesaian persoalan mogok kerja 8.200 karyawan Freeport dan subkontraktor.
Kedatangan Komisi C DPRD Mimika dipimpin langsung Wakil Ketua Komisi C DPRD Mimika, Philipus Wakerkwa dengan didampingi anggota lainnya, Aser Gobay, Muhammad H. Asri, Elias Mirip, dan Thadeus Kwalik, diterima langsung Kadisnakertrans- PR, Rony S. Maryen di ruang kerjanya.
Philipus Wakerkwa, usai pertemuan mengatakan kunjungan yang dilakukan sebagai bentuk koordinasi untuk menuntaskan dampak PHK ribuan karyawan, termasuk penuntasan hak-hak karyawan mengenai jemainan kesehatan nasional BPJS kesehatan.
“Kita datang kesini untuk mencari tahu kepastian sudah sejauh mana persoalannya, karena persoalan selama ini ditangani Pemda Mimika,”kata Philipus berharap ada solusi dari permasalahan ini.
Politisi PAN ini pun mengaku permasalahan ini memang rumit. Dengan pelimphaan penyelesaian kembali ke daerah, maka harus diambil langkah konpherensif agar tidak menimbulkan dampak sosial di Mimika,” tandasnya.
Lebh lanjut, Kadisnakertrans-PR, Rony S. Maryen kembali menguraikan, bahwa persoalan ini bermula dari pengalihan status Kontrak Karya (KK) menjadi Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Kondisi ini menjadi kendala dan sklumit bagi perusahaan tambang emas dan tembaga terbesar di dunia.
“Karena ijin ekspor konsentrat dibatasi bahkan berkurang, maka perusahaan melakukan efisiensi berupa penawaran paket, salah satunya furlough berujung PHK sukarela. Ini versi manajemen Freeport.
Terkait referensi hukum furlough, lanjut Ronny, secara resmi ia sudah menyurati SPSI Mimika dan masing-masing PUK, terkait masalah furlough.
“Beberapa waktu lalu ada pertemuan di Hotel 66 dengan pihak manajemen Freeport. Hadir waktu itu Direktur Bina Pengawasan Ketenagakerjaan. Waktu itu kita tegaskan bahwa istilah furlough tidak ada dalam reverensi hukum Indonesia. Karena itu tidak bisa dijelaskan secara pasti. Dan untuk menyelesaikan soal furlough sehingga memicu karyawan melakukan mogok kerja, itu jadi ranah PHI. Untuk putuskan bahwa mogok itu sah atau tidak, itu PHI yang akan putuskan,” tegasnya.
Terkait permasalahan ini, pihaknya secara intens berkomonukasi dengan Kementerian Tenaga Kerja.
“Kami lagi bentuk tim untuk investigasi. Dan menurut informasi dari Kementerian akan buatkan SK sehingga tim bekerja berdasarkan aturan. Rencana Bulan Oktober ini akan ada tin dari pusat untuk kita bicarakan lagi,” tandasnya.
Sementara itu, Sekretaris Disnakertrans-PR, Sri Wahyuni Eka Putri menambahkan, bahwa layanan BPJS kesehatan bagi karyawan yang mogok kerja sudah tidak berlaku.
“Sesuai hasil pertemuan dengan pihak BPJS itu adalah, apabila karyawan itu di PHK selama enam bulan kedepan seharusnya masih mendapatkan pelayanan kesehatan. Tetapi faktanya BPJS kesehatan tidak lagi melayani pelayanan kesehatan. Karena status karyawan bukan status di PHK, tapi mengundurkan diri secara sukarela,”jelasnya.(tan)