
MAI Tuntut Freeport Ditutup
TIMIKA,TimeX
Gerakan Moral Masyarakat Hukum Adat Amungme Kamoro (Amor) mendukung PT Freeport Indonesia (PTFI) untuk tetap beroperasi dan tidak ditutup.
Jika PTFI terpaksa menganut Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) atas kebijakan pemerintah, maka dampak nyata akan dirasakan masyarakat akar rumput akan kelangsungan hidupnya.
“Jujur saya katakan dan pemerintah harus akui, bahwa 80 persen pembangunan di Mimika bertumpu pada Freeport, dan 20 persen oleh pemerintah. Kalau situasi ini tidak menentu, maka Timika, instansi, usaha masyarakat lumpuh dan masyarakat jadi korban dari kebijakan Pemerintah Pusat. Jadi pemerintah harus arif dan bijaksana,” tegas Ketua Gerakan Moral Masyarakat Hukum Anat Amor, John Manuel Magal kepada wartawan saat jumpa pers di Café Baku Dapa, Senin (20/3).
Menurut Magal, pertemuan yang dilakukan Bupati Mimika bersama Pemerintah Pusat dengan melibatkan tokoh-tokoh lokal hingga pembahasan dan permintaan saham 20 persen, bagi saya terlalu dini, karena pertemuan inti antara Freeport masih berlangsung,” tutur Magal.
“Harusnya kalau bicara saham, ini kaitanya dengan hak ulayat yang harus dibicarakan terpisah, sebab terbangun dari aspirasi akar rumput bukan keinginan kelompok atau perorangan.
Jangan juga kepentingan orang tertentu dibawa ke pusat seolah-olah jadi aspirasi masyarakat Amungme dan Kamoro sebagai pemegang hak ulayat. Ini yang sedang terjadi, jangan sampai terjebak. Yang terpenting semua orang harus memikirkan dampak buruk dari tuntutan-tuntutan itu. Faktanya jelas semua orang butuh makan. Kalau misalnya banyak karyawan yang di rumahkan dan di PHK hanya dianggap biasa saja, maka saya pikir ini sesuatu yang sangat disayangkan,” ujarnya.
Jelasnya, lanjut Magal, kami akan tetap pertahankan PTFI, karena apa yang sudah diperbuat selama 50 tahun sebagai bentuk pertanggungjawaban yang tidak harus disikapi masyarakat dengan brutal, atau menuntut segala macam, melainkan menjalin komunikasi yang baik dengan managemen.
Selain itu, pihaknya juga akan memperjuangkan kepada pemerintah terkait regulasi tentang masyarakat adat.
“Misalnya Negara buat IUPK maka Negara juga harus buat regulasi hak ulayat dan Negara juga harus mengatur kompensasi dari tahun 1967 sampai tahun 2017 seperti apa. Selama 50 tahun pemerintah kurang perhatikan kami, padahal yang terpenting adalah manusia harus dibangun, harus dibekali pendidikan dan pengetahuan, agar seketika perusahaan ditutup, maka ada upaya lain untuk mempertahankan hidup. Jadi masyarakat jangan hanya dengar-dengar isu atau ikut ramai. Bahwa Freeport sudah banyak berbuat hal positif untuk masyarakat di berbagai sendi kehidupan,” paparnya.
Menurut Magal, dengan disetujuinya ekspor konsentrat Freeport mulai hari ini, maka diharapkan negosiasi antara Freeport dengan pemerintah jangan sampai berlarut.
“Ini sebenarnya multi dampak dari apa yang terjadi, namun pemerintah tidak melihatnya secara jeli dan saksama. Silahkan saja mengajukan aspirasi, tetapi segala sesuatunya jangan diukur dari aturan pusat, melainkan melihat kepentingan nasional,”tutupnya.
MAI Tuntut Freeport Ditutup
Sementara itu, sekelompok masa berjumlah 50-an orang yang mengatasnamakan Masyarakat Adat Independen (MAI) menggelar demonstrasi di Bundaran Timika Indah, bilangan Budi Utomo, Timika, Senin (20/3), dengan agenda menuntut PT Freeport Indonesia ditutup.
Vinsen Oniyoma juru bicara demonstran mengatakan kekisruhan antara Pemerintah dan PT Freeport telah berdampak luas pada dunia, Indonesia, Papua dan Kabupaten Mimika.
“Hal tersebut membuat munculnya banyak persepsi dan kepentingan di kalangan elit nasional Indonesia sampai ke Papua di mana mereka tidak pernah berbicara tentang situasi yang sebenarnya terjadi di masyarakat akar rumput yang mengalaml dampak langsung darl keberadaan PT Freeport,” katanya.
Ia juga mengatakan sejak masuknya Freeport di Timika yang mendapat legalitas dari undang-undang penanaman modal asing pertama tahun 1967 di Indonesia, tidak pernah melibatkan dan menghargai hak-hak masyarakat adat dua suku besar Amungme dan Kamoro sebagai pemilik hak ulayat.
Ketika kesadaran masyarakat adat muncul dengan aksi masyarakat pada tahun 1996 di Timika yang mengorbankan nyawa manusia dan materi barulah dana Corporate Social Responsibility (CSR) yang disebut dana satu persen itu diturunkan untuk menutupi pelanggaran yang di lakukan PT Freeport kepada masyarakat sekian tahun lamanya.
“CSR atau dana satu persen yang diberikan pun tidak membuahkan kesejahteraan melainkan menimbulkan konflik internal di kalangan masyarakat akar rumput dikarenakan para elit manfaatkan untuk kepentingannya sementara masyarakat akar rumput tidak pernah merasakan dampak CRS itu sendiri hingga saat ini,” tuturnya.
Untuk itu, atas nama Masyarakat Adat Independen mereka mengambil sikap dengan tegas dan menuntut agar Freeport segera ditutup, kekayaan Freeport harus diaudit oleh badan independen.
Selain itu mereka juga menuntut agar Freeport wajib membayar upah dan pesangon pekerja yang telah dirumahkan dan yang telah di-PHK sesuai ketentuan yang berlaku.
Mereka juga meminta agar Freeport dan Pemerintah lndonesia bertanggung jawab dan membiarkan masyarakat yang menentukan masa depan partambangan di Timika.
Aksi tersebut dikawal ketat belasan aparat kepolisian Mimika dengan bersenjata lengkap.
Ironisnya, aksi MAI pada, Senin (20/3) yang dimulai pukul 09.00 WIT hingga berakhirnya meninggalkan kesan kurang memuaskan karena membiarkan sampah karton dos air mineral, botol air mineral kemasan kosong, ludah pinang yang berserakan di lokasi demo, termasuk kulit pinang dibuang begitu saja.
Rupanya, masa yang getol menyuarakan pentupan PT.Freeport Indonesia itu pulang dari lokasi demo sekitar pukul 12.00 WIT tanpa membersihkan sampah-sampah tersebut. (san/a21)