
TIMIKA, TimeX
Menyikapi kondisi PT Freeport Indonesia (PTFI) yang tak kunjung normal, para tokoh mayarakat dari tujuh suku pemilik hak ulayat dan juga pihak Lembaga Musyawarah Adat (LMA) bersepakat dan siap bersatu untuk mendukung perusahaan milik Amerika Serikat itu agar bisa kembali beroperasi normal.
Dengan harapan segala aktivitas pelayan kemitraan kepada masyarakat bisa berjalan seperti sebelumnya dari kisruh Freeport soal kepastian investasi dari rezim Kontak Karya (KK) yang dialihkan menjadi IUPK dan jaminan fiskal serta hukum.
Pernyataan dukungan terungkap pada pertemuan bersama Pusat Pengendalian Masyarakat Adat Pegunungan Tengah Papua (P2MA-PTP) Wilayah Mee-Pago Kabupaten Mimika- Provinsi Papua di kediaman tokoh Amungme, Silas Natkime di Kuala Kencana, Jumat (21/4) lalu.
Hadir dalam pertemuan waktu itu, diantaranya Ketua LMA, Yakobus Kogoya beserta pengurusnya, yakni Wakil Ketua, Pdt. Lukas Hagabal, Wakil Ketua 2, Silas Natkime, Sekretaris, Pondinus Alom dan Bendahara LMA, Hermanus Kogoya.
Lainnya, Ketua Bidang Organisasi LMA, Hamkora, SE, pengurus Bidang Hubungan Pemerintahan LMA, Pilemon Wakerwa, Bidang Adat Istiadat, Seni dan Budaya, Frans Timang, Bidang Hak Ulayat, Anton Niliwingame, Bidang Kepemudaan, Okto Murib, Bidang Pemberdayaan Perempuan, Temina Kum, Bidang Pendidikan, Leonardus Tumuka, serta perwakilan Bidang Perencanaan Pembangunan, Yulianus Hagabal.
Selain itu, turut serta sejumlah tokoh masyarakat tujuh suku, perwakilan dari Suku Moni dan perwakilan dari PT Freeport Indonesia, Agustinus Somau.
Silas Natkime membuka pertemuan sekaligus mengajak semua elemen lokal, termasuk dua lembaga adat di Mimika, Lemasko dan Lemasa untuk tetap solid bersama masyarakat mendukung PTFI agar kembali beroperasi normal.
Dukungan terhadap Freeport, sebab perusahaan tambang emas dan tembaga di dunia itu sejak berdiri hingga saat ini telah memberikan kontribusi yang begitu besar kepada masyarakat tujuh suku di segala aspek kehidupan.
Baik itu kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Karena itu, masalah yang dihadapi PT Freeport adalah masalah masyarakat Papua.
“Proyek pembangunan di Mimika banyak pula yang dikerjakan PT Freeport. Solusinya sampai saat ini belum ada. Sekarang ini perusahaan tidak jalan sehingga kita semua jadi korban. Kesehatan, pendidikan, ekonomi dan sendi kehidupan lainnya terhadap pelayanan masyarakat terkendala dan kondisi ini sudah sangat memperihatinkan,” kata Silas.
Sebagai bentuk dukungan nyata, lanjut Silas, Bulan Mei mendatang, pihaknya akan mengkonsolidasi seluruh elemen masayarakat tujuh suku untuk mengelar aksi peduli Freeport.
Katanya, masyarakat asli tidak boleh diam dengan persoalan yang dihadapi Freeport, jika pemerintah tidak konsisten. Kami yang punya emas dan kami yang punya tanah tapi pemerintah tidak menghargai kami. Papua dan non Papua menjadi korban, yang makan daging orang pusat, yang makan tulang kami Papua. Undang-undang hanya menguntungkan pemerintah pusat,” tegas Silas yang juga merupakan salah satu petinggi di PTFI.
Sementara itu Pengurus Besar Tujuh Kepala Suku Adat Pegunungan Tengah Papua P2MA-PTP, Agustinus Somau menambahkan pihaknya mendesak pemerintah pusat untuk segera memberikan solusi bijak sehingga Freeport bisa kembali beroperasi normal.
Harapan satu-satunya agar Freeport kembali beroperasi normal, kata Agus menjadi keinginan besar masyarakat tujuh suku sebagai masyarakat pemilik hak ulayat.
Karna itu, Agustinus mengimbau kepada oraganisasi-organisasi yang mendesak agar Freeport tutup untuk membayar hak adat kepada pemilik ulayat setempat.
“Ia pun mengimbau organisasi-organisasi untuk boleh memprovokasi situasi keadaan di Timika, sebab yang terdampak langsung adalah karyawan dan masyarakat setempat, jangan perkeruh situasi,” harap pria yang akrab disapa Agus ini.
Dengan kendali Freeport yang begitu besar terhadap perekonomian di Mimika, maka kepada seluruh elemen masyarakat asli tujuh suku diimbau untuk bersatu mendukung Freeport.
“Kita sebagai pemilik ulayat jangan jadi penonton. Saatnya kita beraksi mendukung Freeport,” tandasnya.
Sementara itu, Sekertaris LMA, Pundinus Alom menyatakan masalah Freeport adalah masalah orang asli Papua, apalagi yang mempunyai hak ulayat dan masalah Papua adalah masalah dunia, bukan hanya Negara Indonesia.
Pundinus menyerukan agar negosiasi antara Freeport dengan Pemerintah Pusat jangan berlarut-larut sebelum masyarakat tujuh suku melakukan aksi.
“Kita akan buat aksi yang besar. Masyarakat tidak akan duduk diam menanti yang tidak pasti,” tukasnya. (aro)