Masjid Pertama di Timika yang Berdiri Sejak 1983

Keberadaan Masjid Al-Ma’Rifat di Kampung Mapurujaya, Distrik Mimika Timur, Kabupaten Mimika menjadi tonggak sejarah Islam di Timika.
Bahkan eksistensi masjid di wilayah yang cukup terisolasi sejak dibangun tahun 1983, pun jadi cikal bakal lahirnya masjid-masjid di Kota Timika dan sekitarnya.
Pastinya, masjid pertama dan tertua di tanah Amungsa ini tidak lepas dari jasa enam orang imam. Ikuti kisahnya.
Laporan : Nelson Yoel Ruku / Timika eXpress
Masjid Al-Ma’Rifat yang dibangun pada 1983, rupanya jadi situs sejarah karena merupakan masjid pertama atau tertua di Timika.
Ini tentu tidak lepas dari jasa para ulama, yakni enam imam yang dengan setia mengelola dan membaharui rumah ibadah tersebut, seiring dengan bertambahnya jumlah jamaah.
Sejarah mencatat, enam imam sebagai pemimpin Masjid Al-Ma’Rifat berawal dari H. Andi Abdul Malik yang akrab disapa Daeng Maluse (almarhum) asal Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan.
Dimasanya, dengan jumlah jemaah yang belum cukup 50 orang, apalagi kala itu situasi dan kondisi geografis yang serba sulit, sehingga mereka menjalankan tradisi religi muslim apa adanya.
Hidup di tengah mayoritas warga kristiani, H. Andi Malik kala itu setia memimpin jamaahnya dengan membangun relasi dan toleransi yang begitu kuat dengan warga masyarakat asli setempat.
Kehadirannya diterima dan atas seijin warga setempat dibangunlah sebuah masjid berukuran 6X6 meter berkonstruksi semi permanen menggunakan kayu dan papan.
Konstruksi bangunannya hanya bertahan tiga tahun, sejak dibangun 1983, tahun 1986 berpindah lokasi.
Tidak jauh dari lokasi pertama, hanya berjarak 50 meter, dengan dukungan dan swadaya umat islam kala itu memutuskan menjadikan bangunan masjid ini permanen.
Setiap pemindahan lokasi bangunan selalu diikuti dengan ritual “tawaf”, berkeliling masjid.
Perjalanan religi Masjid Al-Ma’Rifat diteruskan imam kedua, Hayatul Rumalolas.
Menyusul H.Ibrahim Mualud, disusul dua imam terdahulu dan kini tongkat estafet ditangan Muhammad Ali Ridha.
Kepada Timika eXpress, Kamis (22/6), Iman Muhammad Ali Ridha ditemui di Masjid Al-Ma’Rifat terus mengisahkan, dari masa ke masa dengan kondisi geografis yang cukup sulit, pihaknya terus berusaha agar keberadaan masjid tersebut terjangkau oleh umat yang hendak menjalankan ibadah sholat.
Di lokasi ketiga inilah Masjid Al-Ma’Rifat dibangun permanen atas seijin warga asli setempat.
Masjid tersebut berdiri kokoh hingga kini dan berada tepat di tepi poros jalan utama Timika-Pomako, tepatnya di Kampung Mapurujaya.
Uniknya, sejak berdirinya hingga kini, enam imam yang memimpin di Masjid Al-Ma’Rifat, semuanya berasal dari Kota Angin Mamiri, Sulawesi Selatan.
“Tidak tau juga kenapa, sejak masjid ini ada sudah enam orang iman yang pimpin, semuanya dari Makassar,” ujar Ali Ridha.
Termasuk lokasi bangunan masjidnya pun sebanyak tiga kali dipindahkan mengingat kondisi geografis agar mudah dijangkau.
“Waktu bangunan awal itu kita kesulitan karena jalan masuk ke masjid jauh dari ruas jalan utama. Apalagi saat turun hujan pasti jalanan berlumpur dan becek. Dari bangunan kedua dan ketiga kita pindah jaraknya hanya 50 meter, sampai akhirnya dibangun permanen diatas lahan 900 meter persegi.
Bangunan fisik masjid mengalami perubahan kedua itu di tahun 1986-2013.
Waktu itu bangunannya berdiri diatas lahan seluas 400 meter persegi.
Besar dan luasnya bangunan kala itu menyesuaikan dengan jumlah jemaah yang sudah mencapai 200 orang.
Pengembangan bangunan ketiga itu terjadi antara tahun 2012-2016 diatas lahan 900 meter persegi, sebab jumlah jemaahnya terus bertambah dan lebih 500 orang.
Kata Ali Ridha, meski sudah tiga kali dipugar, keaslian dari Masjid Al-Ma’Rifat tetap dipertahankan.
Masjid yang namanya terus abadi hingga kini, mulai sejarah pembangunannya secara gotong-royong dengan melibatkan warga lokal setempat dengan teknologi sederhana menjadi pemersatu kehidupan serta kerukunan umat beragama di wilayah tersebut.
Nuansa itu hingga kini terpatri dan melekat erat di tengah kehidupan warga setempat.
Mempertahankan keasliannya bernuansa religi dari tulisan kaligrafi pada bingkai di setiap dinding masjid menjadi ciri khas.
Awalnya, masjid ini tidak berkubah bulat. Bentuknya limas lancip. Pada pemanfaatan pertamanya berlangsung sederhana. Lantai masjid hanya berlantai semen.
Seriring itu, bagian bangunan banyak berubah. Meski begitu, mimbar berukir, tiang utama dan simbol tulisan Bahasa Arab tetap dipertahankan agar kekhasan masjid tetap terjaga.
Selain itu, nuansa religi dari masjid ini pun mencerminkan toleransi umat beragama di Distrik Mimika Timur.
Buktinya, selama puasa Ramadhan dan shalat tarawih selalu dijaga pemuda gereja di wilayah itu.
Ali Radhi menambahkan, jelang Idul Fitri, Tripidis, yakni Kapolsek, Kadistrik serta Danramil dan juga tokoh agama telah memantau kesiapan jelang Sholat Ied,” ujarnya.
Dari pantauan juga ditemui adanya sejumlah fasilitas yang belum selesai dikerjakan terkait persiapan sholat ied, diantaranya tempat wudhu. (**)