KASUS kekerasan seksual yang terus bermunculan di Indonesia tentu membuat resah para orangtua. Terlebih yang menjadi korban dan pelakunya adalah anak-anak. Pendidikan seksualitas yang komperhensif sebenarnya bisa membantu melindungi anak dari kekerasan seksual.
Pendidikan seksualitas sering dianggap sebagai pengajaran melakukan hubungan seks. Padahal, cakupan dari pendidikan seksualitas sangat luas, mulai dari pengenalan identitas diri dan jenis kelamin, fungsi organ reproduksi, hingga bagaimana merawat dan menjaga kesehatannya.
Menurut dr.Boyke Dian Nugraha, Sp.OG, pendidikan seks mencegah perilaku seks bebas, kehamilan tidak diinginkan, aborsi, hingga pemerkosaan.
“Anak-anak kita tidak mendapat pendidikan seksual sejak dini. Sementara orang yang mengincar anak ada di sekelilingnya. Ketika terjadi pelecehan seksual, anak yang tidak tahu menganggap hal itu bukan masalah,” kata Boyke.
Memang masih banyak orangtua yang kurang terbuka dan tak terlatih membahas
seksualitas dengan anak-anaknya. Namun hambatan tersebut bisa dihilangkan, apalagi jika mengingat ada banyak predator yang mungkin mengincar anak kita. Pelakunya bahkan bisa jadi orang dekat anak. Karenanya, penting menanamkan keterbukaan dan komunikasi yang baik dengan anak.
Dengan mengajarkan mana bagian tubuh yang bersifat pribadi, mengajarkan mengenai jenis-jenis sentuhan aman dan tidak aman, cara menjaga tubuh, serta menghormati orang lain, sebenarnya orangtua sedang mengajarkan anak tentang pendidikan seksualitas.
Seiring bertambahnya usia, pertanyaan anak akan tubuhnya akan semakin luas. Menurut psikolog Vera Itabiliana Hadiwidjojo Psi, orangtua harus bersikap tenang dan santai saat berkomunikasi dengan anak.
“Sikap ini penting untuk ditunjukkan oleh orangtua saat berbincang dengan anaknya agar anak merasa diterima, nyaman untuk bicara, dan tidak kapok untuk bertanya lagi,” ujar Vera.
Bila orangtua menutup diri dan tak mau membahas topik seksualitas, dikhawatirkan anak akan mencari jawaban dari teman-temannya atau sumber yang tidak tepat.
Dalam survei yang hasilnya baru dirilis oleh UNICEF disebutkan, 70 persen anak dan remaja mengaku merasa terancam bahaya pelecehan seksual online atau eksploitasi. Sekitar 80 persen responden itu menjawab akan minta bantuan teman jika mereka terancam atau tidak aman online. Hanya 20 persen yang minta bantuan orangtuanya.
Untuk menumbuhkan kepercayaan dari anak, menurut Vera, komunikasi yang hangat dan
terbuka sebenarnya merupakan modal utama.
“Buat anak nyaman untuk bicara terbuka pada orangtua. Berikan banyak pengalaman komunikasi dimana orangtua tidak melulu memarahi, menghakimi, memojokkan atau bertanya dengan gaya interogasi. Perbaiki cara komunikasi dengan anak sehingga anak dapat dengan mudah bicara. Orangtua perlu lebih banyak mendengar aktif ketika bicara dengan anak,” paparnya.
Anak yang mendapatkan pendidikan seksualitas dan memiliki komunikasi yang terbuka dengan orangtuanya akan tumbuh menjadi anak yang lebih percaya diri, mencintai dirinya lebih baik, dan mampu menolak kekerasan.
Hal itu tercermin dalam penelitian Rutgers WPF (World Population Foundation) bekerja sama dengan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia tahun 2013. Remaja yang mendapatkan pendidikan seksualitas lebih bisa menolak ketika terjadi pemaksaan aktivitas seksual, bisa mengidentifikasi kekerasan seksual, dan lebih tahu tentang penularan HIV.***