
Lenis Kogoya:Ini Bisa Berpotensi Konflik
TIMIKA, TimeX
Dukungan terhadap jalannya proses produksi dan operasional PT Freeport Indonesia (PTFI) terus menguat terkait adanya pembatasan ijin ekspor konsentrat dari pemerintah pusat.
Menyikapi situasi pelik yang dihadapi perusahaan tambang emas dan tembaga terbesar di dunia, maka Presiden Joko Widodo mengutus Staf Khusus Presiden, Lenis Kogoya ke Timika, Rabu kemarin.
Kedatangannya kemarin, selain mengunjungi areal tambang Freeport di Tembagapura, Lenis Kogoya pun menyempatkan diri berdialog dengan karyawan termasuk masyarakat pemilik hak ulayat setempat.
Pada gelar dialog, menyusul jumpa pers di Rimba Papua Hotel, Rabu (8/2), representasi perwakailan karyawan maupun masyarakat pemilik ulayat minta Pemerintah Pusat agar menormalkan ijin ekspor konsentrat Freeport.
Pernyataan tegas ini disamapaikan secara bergantian, mulai dari Ketua Tongoi Papua, Paskalis Menteb sekaligus mewakili karyawan PTFI, termasuk Silas Natkime dan Maksimus Tipagau.
lainnya, Sekretaris Jenderal LMA Provinsi Papua, Frans Pigome termasuk Lenis Kogoya.
Terkait itu, ada 3 poin yang disampaikan, pertama, minta Presiden Jokowi segera mengambil keputusan agar ekspor Freeport kembali berjalan normal.
Kedua, jika hal itu tidak dilakukan oleh Presiden, maka karyawan akan ke Jakarta dan melakukan demo di DPR RI dan Istana Merdeka.
Poin terakhir adalah pihak parlemen, eksekutif dan legislatif harus mempertimbangkan UU Minerba Nomor 4 tahun 2009, kalau perlu direvisi kembali.
Menjawab itu, Lenis Kogoya menyampaikan, bahwa kunjungannya adalah perintah langsung dari Presiden karena adanya aspirasi dari masyarakat 7 yang meminta agar ijin ekspor Freeport kembali normal. Sebak jika ijin ekspor tidak diperpanjang akan berdampak besar, bahkan bisa berpotensi konflik.
“Ini perintah langsung dari Presiden supaya saya tangani. Nyatanya setelah mediasi ternyata ada masalah-masalah yang berpotensi konflik akan terjadi di Timika, khususnya di areal PTFI,” jelasnya.
Bahkan menyikapi desakan masyarakat asli yang akan menggelar aksi demo ke Jakarta, maka atensi khusus dari kujungannya adalah mau mendengar langsung aspirasi melalui karyawan PTFI, serta bertemu pemilik hak ulayat.
“Kami sama-sama sudah lihat keadaan di areal PT Freeport, ternyata di atas khususnya di Portsite ada tiga gudang tambang itu sudah penuh karena adanya penumpukan tambang karena terkendala ijin ekspor,” jelasnya.
Dengan adanya penumpukan konsentrat tambang, maka produksi dari pabrik tersebut otomatis dihentikan karena terjadi penumpukan konsentrat di gudang.
Termasuk produksi tambang bawah tanah juga dihentikan. Otomatis karyawannyapun tidak bekerja.
“Bahkan kalau ekspor jalan, masyarakat pendulang emas tradisional pun diuntungkan. Tetapi kalau ekspor tidak jalan, maka masyarakat tidak bisa mendulang. Dampaknya akan ada aksi nakal pemotongan pipa konsentrat yang pasti merusak fasilitas Freeport. Itu yang saya lihat langsung, “ujar Lenis.
Selanjutnya, Ketua Tongoi Papua, Paskalis Menteb mewakili karyawan Papua PTFI, mengatakan ijin ekspor konsentrat harus kembali normal dan pemerintah pusat harus sikapi baik sehingga tidak berdampak langsung kepada karyawan serta masyarakat di sekitar areal tambang Freeport.
Menyikapi situasi yang dialami Freeport, ribuan karyawan telah bersepakat dan telah membentuk tim solidaritas Freeport Indonesia.
Tim yang beranggotaan seluruh karyawan Freeport, pribatisasi dan kontraktor akan menggalang dana secara sukarela dan akan membiayai keberangkatan ke Jakarta menyampaikan aspirasi sebagai wujud dukungan terhadap Freeport.
“Kami juga minta pihak parlemen, eksekutif dan legislatif mempertimbangkan UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba.
“Kami minta tolong Undang-Undang Minerba direvisi, dan pertimangkan investor asing untuk masuk ke Indonesia, sebab penduduk di Indonesia banyak, tetapi tingkat kemiskinan masih tinggi.
Ini juga harus dipertimbangkan, khususnya PPH 21 karena Freeport disebut pembayar pajak cukup besar kepada negara,” tegasnya.
Sementara Sekretaris Jenderal LMA Provinsi Papua, Frans Pigome menambahkan, dengan melihat kenyataan Freeport saat ini tentunya berdampak kepada orang asli Papua.
“Karena perusahaan ini berada diwilayah hak ulayat masyarakat dan dikerjakan oleh orang asli Papua, dengan kebijakan pusat, dampaknya akan timbul konflik besar,” ungkapnya.
Mantan Ketua Tongoi Papua pertama menegaskan pula, selama ini kita tahu adanya konflik masyarakat Papua, dan LMA selalu berada di depan untuk menyelesaikannya.
Termasuk kondisi yang dihadapi PTFI saat ini pasti LMA akan siap bantu hadapi dan itu sudah komitmen.
Artinya pemerintah harus bisa respon baik dan memberi ijin ekspor agar produktivitas perusahaan kembali normal,”tutup Frans.
Sedangkan Silas Natkime, selaku pemilik ulayat mengaku warga masyarakatnya pasti jadi korban, sebab eksistensi PTFI selama ini sudah sangat bagus dan membangun masyarakat.
“Pemerintah pusat harus kembali normalkan ijin ekspor untuk mendukung sendi-sendi kehidupan masyarakat setempat. Kami tidak mau jadi korban,” tegas Natkime.
“Kalau pemerintah batasi ijin ekspor Freeport, tentu harus sudah siapkan lapangan pekerjaan agar masyarakat bisa hidup. Tetapi kalau tidak kami akan hancur atau rugi. Pikirkan baik karena ini untuk kepentingan kita semua,” pesannya.
Menyusul Maksimus Tipagau menambahkan, keberadaan PTFI sangat membantu masyarakat, tentunya ijin ekspor Freeport harus dimudahkan.
Menyangkut transparansi dan renegoisasi perpanjangan kontrak Freeport, pemerintah pusat, pemerintah daerah dan pemilik ulayat setempat harus duduk bersama karena mengakomodir kepetingan masyarakat banyak termasuk karyawan.
Untuk diketahui, kedatangan Lenis Kogoya menemui masyarakat tujuh suku di halaman Gedung Kantor Perpustakaan waktu itu disambut tarian adat Papua. (tan)