
“Ini yang kita khawatirkan dalam waktu 10-20 tahun ke depan masyarakat pribumi tidak lagi terlihat karena ditutupi oleh pendatang yang mengetahui ada tungku api, artinya ada peluang dan kesempatan mencari nafkah disini. “Jangan sampai kita masyarakat asli terpinggirkan, harus di dekat tungku api agar tidak lapar dan mati”
TIMIKA, TimeX
Dalam rangka menyelamatkan status tanah adat milik masyarakat hak ulayat Suku Amungme dan Kamoro di masa mendatang sesuai perkembangan zaman dan situasi global yang terjadi, Keuskupan Timika menggelar sosialisasi bertajuk ‘Gerakan Tungku Api’.
Sosialisasi yang dilangusngkan di Aula Bobaigo Keuskupan Timika, Jumat (3/3) guna menyelamatkan tanah adat masyarakat asli demi kelangusngan hidup dan masa depan anak cucu.
Kegiatan sosialisasi selama tiga hari, hingga Minggu (5/3) akan diikuti langsung oleh Uskup Timika, Mgr. John Philip Saklil, Pr yang juga sebagai pemateri.
Pada sosialisasi hari pertama, Jumat kemarin, pesertanya adalah masyarakat adat setempat. Dan pelaksanannya Sabtu (4/3) hari ini menghadirkan pihak lembaga adat.
Sedangkan hari terakhir melibatkan semua peserta sejak sosialisasi hari pertama.
Pada sosialisasi hari pertama, Uskup Saklil kepada para lurah, kepala-kepala kampung,RT, tokoh adat, pemuda, gereja dan tokoh perempuan, memaparkan tentang konsep perlindungan terhadap dusun dan tanah adat dengan gerakan tungku api.
Uskup Saklil menegaskan saat ini umat Katolik di sleuruh dunia termasuk di Timika berada pada masa prapaskah yang mengetengahkan 2 hal utama, yaitu tentang hidup keluarga sejahtera dan berbicara tentang dusun.
Kata Uskup, alam Papua ini sangat kaya akan potensinya, maka memaknai tentang tanah dan dusun harus jadi pokok renungan masyarakat adat pemilik hak ulayat.
“Hal ini pun jadi konsen keuskupan dalam permenungan dengan memakai istilah ‘Tungu Api’, sebab kalau bicara dusun tanah itu semua ada hubungannya dengan tungku api. Kenapa Tungku Api, karena itu tempat yang membuat kita bisa makan untuk hidup.
Tungku Api ini juga melambangkan kebersamaan, dimana kita duduk keliling untuk bicara membangun kebersamaan sebagai suatu keluarga dan masyarakat,” jelasnya.
Lanjut Uskup Saklil, tungku api ini pun bisa menyala kalau ada sesuatu yang kita masak atau olah,” sebutnya mengibaratkan semuanya itu datang dari dusun seperti mengolah sagu, ubi.
“Inilah masalah yang sedang kita hadapi, dan dikhawatirkan menjadi ancaman di Papua, khususnya di tanah Amungsa bumi Kamoro,” tegasnya.
Dari pandangan gerejawi, menurut Uskup Saklil kalau pemilik ulayat setempat tidak jaga baik tanah dan dusunnya, maka tungku api tidak lagi menyala.
“Situasi ini sadar atau tidak sedang terjadi. Mari kita selamatkan sebelum nanti mau makan kita harus pergi cari ke tempat lain. Dan, kalau mau olah kita punya makanan sudah tidak ada tempat. Tempatnya yang punya hanya pegawai karena memiliki gaji. Tetapi tidak semua masyarakat pribumi punya gaji, ini yang nanti ambil di dusun.
Kalau ada tanah, tanamlah ubi singkong yang bias dimakan, juga sagu yang adalah makanan pokok harus diperbaharui terus. Inilah hal yang mau kita diskusikan,” jelasnya.
Pesan moral ini disampaikan Uskup Saklil agar masyarakat pemilik ulayat setempat bisa melihat jauh ke depan apa yang harus dibuat, agar tidak terjebak diatas tanahnya sendiri.
Penegasan Uskup saklil juga mengantisipasi masuknya pendatang dari luar Ppaua yang semakin tidak terkendali dan terus bertambah.
“Ini yang kita khawatirkan dalam waktu 10-20 tahun ke depan masyarakat pribumi tidak lagi terlihat karena ditutupi oleh pendatang yang mengetahui ada tungku api, artinya ada peluang dan kesempatan mencari nafkah disini. “Jangan sampai kita masyarakat asli terpinggirkan, harus di dekat tungku api agar tidak lapar dan mati,” tegasnya lagi. (a24)